



- LAM Satukan Ormas-Paguyuban, Kompak Jaga Batam Tetap Aman dan Damai
- Polisi Bersihkan Pohon Tumbang Halangi Jalan di Batuampar-Batam
- Pesan Penting saat Kapolsek Bengkong Jadi Pembina Upacara di Sekolah SMAN 8 Batam
- Kejuaraan Amsih HHRMA DPD Kepri Badminton Championship 2025: Harper Premier Nagoya Batam Raih Juara 1 dan 3
- Polsek Bengkong Gelar Dialog dengan Seluruh Elemen Masyarakat
- Tanpa Persiapan Matang, Disbudpar Raih Prestasi di Lomba Gerak Jalan HUT RI se-Batam
- Bentuk Empati Kondisi Nasional, BP dan Pemkot Batam Batalkan Penyelenggaraan Pesta Rakyat HUT Kemerdekaan ke-80
- BP Batam Pastikan Pekerjaan Drainase Rampung Bertahap Tahun Ini
- Ciptakan Protokol Profesional dan Berwawasan, BP Batam Selenggarakan Workshop Keprotokolan
- Amsakar Raih Penghargaan Baznas Award 2025, Komitmen Dukung Gerakan Zakat Nasional
Sembilan Bulan, 553 Kasus Aduan Masuk ke Dewan Pers: Rilis Hanyalah Sumber Informasi

Keterangan Gambar : Ahli Pers Dewan Pers dan Analis di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun, saat mengunjungi Museum Camp Vietnam di Pulau Galang, Rabu (28/9/2022). /iam/KORANBATAM.COM
KORANBATAM.COM - Ahli Pers Dewan Pers dan Analis di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun berharap kepada seluruh media berbagai platform agar tidak mempelakukan rilis sebagai berita. Sebab, rilis hanyalah sumber informasi.
Perihal tersebut disampaikan Rustam melalui pesan singkat WhatsApp pada Selasa (4/10/2022) malam.
Hal ini menindaklanjuti terkait adanya 553 kasus aduan dari masyarakat yang masuk di Dewan Pers, Jakarta selama periode bulan Januari hingga September 2022.
Dari total di atas, sebanyak 429 kasus atau 77,58 persen sudah selesai penanganannya, sisanya ditargetkan selesai hingga akhir tahun ini.
“Penyakit terbaru di media kita saat ini salah satunya ialah mempelakukan rilis sebagai berita. Wartawan yang malas, menyalin rilis (copy), persis apa adanya. Padahal rilis hanyalah sumber informasi,” sebutnya kepada media ini.
Lebih jauh Rustam mengatakan, jika rilis ingin dijadikan berita harus ada proses Jurnalistik. Seperti memastikan sumber yang kredibel, informasinya benar dan melalui proses konfirmasi.
“Kalau mau dijadikan berita, harus ada proses Jurnalistiknya. Tentu sumbernya kredibel, informasinya benar dan dikonfirmasi. Nah jika ada pihak yang akan dirugikan dengan rilis tersebut harus diberi kesempatan untuk membela diri. Itulah prinsip keberimbangan berita,” ungkapnya.
Terpisah, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana menjelaskan bahwa, dengan kian meningkatnya pengaduan masyarakat ke Dewan Pers, di satu sisi menunjukkan tingkat kesadaran publik terhadap pers.
Namun, menurut Yadi, besarnya aduan menunjukkan pentingnya pembenahan dalam kerja pers. Karena itu, ia menambahkan, Dewan Pers mengimbau seluruh media berbagai platform agar menjaga kehidupan pers yang sehat.
“Semua media diharapkan menjunjung tinggi etika dan patuh pada norma-norma sosial maupun agama yang disepakati bersama dan berlaku di masyarakat,” kata Yadi dalam rilisnya.
Ia menilai, masih banyak konten media yang berpotensi melanggar etika Jurnalistik. Untuk itu, Dewan Pers juga meminta masyarakat agar ikut memantau sajian tidak sehat tersebut dan melaporkannya ke Dewan Pers disertai bukti-bukti yang ada.
Selama ini, Dewan Pers telah menyediakan layanan bagi masyarakat yang mengadukan masalah pemberitaan dan pers, mulai dari surat-menyurat secara langsung hingga secara daring (online).
“Kami lakukan penanganan pengaduan masyarakat secara tatap muka, luring dan daring, dengan melibatkan para analis dan jurnalis senior,” sebut Yadi, seperti dikutip dari laman publicanews.com.
Soal pelanggaran pers, kata dia, secara umum pelanggaran terkait kode etik yang dilakukan media adalah tidak melakukan uji informasi, tidak melakukan konfirmasi, dan menghakimi serta plagiasi.
“Ini cukup memprihatinkan. Kami menemukan satu berita yang judul hingga isinya sama dan dimuat oleh belasan media,” ujarnya.
Yadi melanjutkan, mengenai tindakan kepada media yang dinilai melanggar etika jurnalistik, antara lain wajib memberikan hak jawab/hak koreksi dan beberapa media diminta menyampaikan maaf secara terbuka kepada publik.
“Sesuai undang-undang, bagi yang tidak memuat kewajiban hak jawab ini dapat didenda sebesar Rp500 juta,” imbuhnya.
(iam)

