- Walau Sidang Masih Berjalan, Eksekusi Rumah di Rosedale Batam Tetap Dilakukan
- Guru TK se-Batam Pererat Hubungan lewat Outbound Penutup Tahun 2025
- Embat Kalung Emas 2,5 Gram di Leher Seorang Bocah Demi Gaya Hidup
- Banyak Promo, Rayakan Natal dan Pergantian Tahun dengan Nuansa Baru di Swiss-Belhotel Batam
- RSUD Embung Fatimah Babak Belur, Dihajar Disbudpar Batam 0-4
- Jaga Alam dan Investasi di KPBPB
- Aksi Bersih Gulma di Waduk Duriangkang, BP Batam Ajak Warga Jaga Sumber Air Kota
- Beri Kemudahan Layanan Perizinan, BP Batam Raih Penghargaan Bhumandala Ariti 2025
- Menhan Koleb Bareng TNI AL dan PT Noahtu Shipyard Buat Kapal OPV ke-3 di Batam
- Resmi Dilantik Wali Kota, SWARA Batam Siap Menjadi Mitra Strategis Pemerintah
Walau Sidang Masih Berjalan, Eksekusi Rumah di Rosedale Batam Tetap Dilakukan

Keterangan Gambar : Ahli waris Gebhardt Napitupulu (kemeja pendek hijau lumut), berdiri menghadang sambil menyerukan keberatan atas proses eksekusi rumahnya yang mereka anggap tidak transparan. /iam/KoranBatam
KORANBATAM.COM - Eksekusi rumah di Perumahan Rosedale Blok E2 Nomor 3, Teluk Tering, Batam Kota, Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Kamis (20/11/2025) pagi ini berlangsung tegang dan dramatis setelah pihak ahli waris menolak pengosongan rumah peninggalan orangtuanya.
Penolakan ini memicu aksi dorong-dorongan sebelum akhirnya tim gabungan pihak Kepolisian meredam situasi di lokasi.
Dua bersaudara, Gunter Ronaldo Napitupulu dan Gebhardt Napitupulu mengklaim proses eksekusi menyalahi aturan.
Rumah yang telah mereka tempati sejak tahun 1994 itu dengan terpaksa dan berat hati harus dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Batam sesuai surat putusan, meski keluarga mengaku memiliki seluruh dokumen kepemilikan yang lengkap.
Ahli waris Johnson Napitupulu melalui Gebhardt mengatakan, rumah tersebut dibeli ayah mereka, Jhonson Napitupulu pada tahun 1992 silam saat masih dalam tahap pembangunan.
Dua tahun kemudian, keluarga mulai menempatinya, dan tinggal bersama kedua orangtua di rumah yang kini resmi diambil alih tersebut.
“Semua dokumen kami sah dan lengkap, kami pegang surat pembelian rumah atau Akta Jual Beli (AJB), SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), surat peralihan hak, Surat Keputusan (SKep), izin peralihan hak (IPH) dari BP Batam sampai Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang masih aktif hingga tahun 2040. Tapi disini tiba-tiba ada gugatan yang kami sendiri tidak pernah tahu dari mana asalnya,” terangnya saat jumpa pers bersama wartawan setelah proses eksekusi.
Terlebih, kata dia, hal yang membuat keluarga kaget ialah proses hukum yang berjalan tanpa pernah mereka ketahui dan cacat administrasi.
“Tidak ada pemberitahuan sama sekali kepada kami. Tiba-tiba keluar putusan eksekusi, dan justru pihak yang mengeksekusi tidak punya dokumen penetapan lokasi (PL) maupun UWTO,” kata Gebhardt.
Ahli waris juga menilai klaim bahwa rumah tersebut merupakan bagian dari bundel pailit PT Igata tidak berdasar. Mereka mengaku memiliki bukti bahwa Blok E2 Nomor 3 tidak pernah masuk dalam daftar aset pailit perusahaan tersebut.
Gebhardt menjelaskan, rumah itu baru diperpanjang UWTO-nya pada 2019 dan resmi terbit pada 2020 atas nama ayah mereka, berlaku hingga tahun 2040.
“Kami sudah verifikasi langsung. Boedel pailit PT Igata tidak mencantumkan rumah kami. Jadi bagaimana mungkin hak atas tanahnya masih atas nama ayah kami, tapi tiba-tiba bisa digugat orang lain dan ini sudah mau sidang yang ke-3. Makanya kami bingung, sudah bersidang kok malah tetap masih bisa eksekusi, tapi kenapa berlaku, berarti kan ini SOP-nya dilewatkan,” herannya.
Ketidakjelasan historis kepemilikan yang diklaim pemohon eksekusi menambah kecurigaan ahli waris akan adanya dugaan permainan oknum. Gebhardt menilai keluarga menjadi korban praktik mafia tanah yang memanfaatkan celah administrasi lama.
“Rumah itu penuh kenangan bagi keluarga kami. Kami hanya dua bersaudara, dan ini satu-satunya aset rumah orangtua di Batam,” ujar dia.
Pada tahun 2016, lanjut Gebhardt, pernah ada pihak yang menggugat rumah tersebut, namun saat itu keluarga menang di pengadilan. Dia tidak mengetahui ada gugatan lanjutan setelah itu hingga akhirnya berujung eksekusi.
Gebhardt menceritakan setelah kedua orangtua berpulang ayah lebih dulu, ibu meninggal pada 2025 rumah itu tidak ditinggali keluarga inti.
Baik Gunter dan Gebhardt menetap di Jakarta, sementara rumah di Batam hanya ditempati pembantu untuk menjaga barang-barang peninggalan orangtuanya.
“Rumah ini tidak pernah kami jual kepada siapapun. Tiba-tiba ada pihak yang mengaku membeli dari kurator. Kami juga tidak pernah dilibatkan atau diberi tahu tentang perkara awalnya,” imbuhnya.
Meski demikian, tim Pengadilan Negeri Batam tetap hadir dan melakukan pembacaan surat eksekusi berdasarkan Penetapan Nomor 38/PDT.EKS/2025/PN Batam atas permohonan Mulyadi Grendi.
Penetapan tersebut merujuk pada putusan PN Batam, Pengadilan Tinggi Kepri (Kepulauan Riau), dan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan ahli waris mengosongkan rumah tersebut. Petugas datang dengan pengawalan aparat dan membawa peralatan pendukung.
Sementara, Gebhardt menegaskan bahwa, mereka tidak akan tinggal diam meski sudah dieksekusi. Upaya hukum akan terus ditempuh untuk mendapatkan kembali rumahnya tersebut.
“Kami akan berjuang terus. Ini hak orangtua kami, dan akan tetap kami pertahankan,” tegas Gebhardt.
Kuasa hukum Pemohon Eksekusi, Agus Cik, menyampaikan, pelaksanaan eksekusi adalah bentuk kepastian hukum bagi pemenang lelang. Dia menegaskan bahwa, aset tersebut masuk Boedel pailit PT Igata dan telah melalui proses lelang resmi.
“Setiap pemenang lelang wajib dilindungi undang-undang. Apapun yang terjadi, eksekusi harus dilaksanakan. Inilah jaminan hukum,” tegasnya.
Namun demikian ahli waris membantah keras pernyataan tersebut, dan menilai dasar-dasar hukum yang digunakan pemohon perlu diuji ulang.
​Mereka juga sudah mengajukan gugatan baru terkait keabsahan dokumen pemohon dan prosesnya kini memasuki sidang ketiga.
“Kami mengejar kepastian hukum. Ada banyak hal yang tidak sinkron dalam berkas-berkas mereka, dan itu sedang kami buktikan di pengadilan,” ucapnya.
Ahli waris berharap proses hukum yang sedang berlangsung dapat membuka fakta sebenarnya.
“Kami hanya ingin hak kami diakui, dan diputuskan secara adil,” sebutnya.
Perlu diketahui, eksekusi rumah ini merupakan kali kedua dilakukan setelah sebelumnya pada Kamis (16/10/2025) siang, dinyatakan batal.
Sengketa rumah ini diduga memiliki dua sertifikat ganda serta tumpang tindih lahan yakni pihak ahli waris dan pembeli dari hasil lelang.
Pihak penggugat atas nama Mulyadi Grendi, sementara ahli waris atas nama Johnson Napitupulu.
(red)
▴-▴
▴-▴
























































































