Angin Desember dan Sarkasme di Malam Sastra Sumatera Luka
KORANBATAM.COM 07 Des 2025, 22:00:43 WIB
dibaca : 341 Pembaca DAERAH
Angin Desember dan Sarkasme di Malam Sastra Sumatera Luka

Keterangan Gambar : Ketua PWI Batam, Muhammad Khafi Ashary saat membawa puisi dari Tuan Besar Tarmizi berjudul Ini Bukan Puisi, Hanya Serupa Puisi, di Suratan Coffee & Restau, Sabtu (6/11/2025) malam. /PWI Batam


KORANBATAM.COM - Angin awal Desember di Pulau Penawar Rindu sedang jahil-jahilnya. Ia mengacak rambut laut, mencubit ombak dan menepuk-nepuk badan boat pancung yang bersiap menyeberang menuju daratan Sekupang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

Tapi tentu saja, bukan pelaut Belakang Padang namanya kalau menyerah hanya karena angin sedang ingin bercanda. Apalagi ketika tujuan yang diantar adalah panggung “Malam Sastra Sumatera Luka”.

Begitulah perjalanan kecil bernada getir menuju Suratan Coffee & Restau, Sabtu (6/11/2025) malam, tempat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, PWI Batam dan Komunitas Seni Rumahitam menggelar malam puisi donasi untuk sedikit menyembuhkan perih luka Sumatera.

Setelah mengikuti alur kritik penyair Rumahitam malam itu, tampaknya luka Sumatera lebih banyak digores oleh “kebijakan” daripada oleh banjir bandang dan gelondongan kayu.

Di panggung sederhana yang mengandalkan lampu jalanan sebagai penerangnya, puisi-puisi yang lahir dari gelisah itu seperti pisau dapur tumpul yang keras kepalaz tak mampu membelah, tetapi tetap memaksa menggoreskan protes.

Tarmizi, Ketua Panitia sekaligus Presiden Komunitas Rumahitam membuka malam dengan menceritakan kemarahannya.

Katanya, tak ada puisi yang bisa dibuat indah dari bencana yang lahir bukan dari alam semata, melainkan dari kelalaian para pemilik pena perizinan dan para penjaga yang tertidur di menara pengawasan.

“Bencana itu hasil dari kesalahan pengelolaan,” ujarnya, tegas.

Sebagai Ketua PWI Batam, Muhammad Khafi Ashary, saya didaulat maju. Tarmizi meminta saya banyak berkata-kata. Saya tak banyak berbicara, sebab kata-kata malam itu harus irit-takut menambah luka.

Saya hanya bicara tentang betapa wartawan, yang biasanya kebal terhadap adegan memilukan, justru mellow saat menatap rumah dan kerabat sahabat-sahabatnya sendiri hanyut di Sumatera.

Kepada mereka, sahabat dan senior yang hadir malam itu, dari panggung puisi donasi, saya layangkan terima kasih atas empati dan kepedulian yang sama.

Malam itu, mulut yang biasanya sibuk bertanya ini diminta membaca puisi karya Tuan Besar Tarmizi berjudul “Ini Bukan Puisi, Hanya Serupa Puisi”.

Judul yang rasanya cocok untuk keseluruhan acara. Sedangkan puisi saya berjudul “Batam Menandah Getir yang Sama” dibacakan oleh Ketua PWI Kepri, Saibansah Dardani.

Dengan penghayatannya, puisi itu terdengar seperti elegi. Menurut Saibansah, puisinya bagus. Menurut saya, beliau hanya sedang memuji. Hehe.

Sanusi, Wakil Ketua Permasa Batam, datang sebagai tamu, berbagi pilu bencana di Tanah Rencong. Sama seperti saya, sarjana teknik itu pulang kemudian sebagai pembaca puisi dadakan.

“Ini pertama kalinya saya baca puisi,” katanya, sebelum membaca “Wahai Lelaki Pemanggul Karung Beras”.

Begitu besar kekuatan cinta untuk saudara Sumatera malam itu. Sebesar cinta Laila kepada Majnun. Kekuatannya mampu memaksa semua orang menjadi puitis oleh keadaan, bahkan mereka yang biasanya hanya berteman dengan angka dan rumus seperti Sanusi.

Tibalah giliran para seniman Rumahitam memberi makna dan emosi pada puisi. Hening tampil dengan suaranya yang menenangkan tetapi menikam jauh ke dalam hati.

Sedangkan Taring duduk membacakan puisi dengan ekspresi vokal tanpa musik dan gerak tubuh, seolah memaksa langit mengirimkan gerimis. Kata-kata mereka bergetar lebih keras daripada pengeras suara yang sesekali mati. 

Dan gerimis pun benar-benar turun malam itu. Saibansah Dardani lalu menutup sesi dengan mengungkap apresiasi. Sang Ahli Pers itu menyebut sejumlah tokoh masyarakat Aceh di Batam. Ada juga nama Tenaga Ahli Kementerian Haji dan Umrah Putera Batubara, Ketua Matahari Pagi Indonesia Susanna dan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Kepri Rinaldi Samjaya serta Ketua Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) Kepri Rohimah, yang menghubunginya saat puisi-puisi dibacakan.

“Alhamdulillah, saya mendapat titipan donasi dari sejumlah orang baik,” ucapnya.

Seperti pukulan gong penanda sebuah sesi ditutup, suara lantang Tarmizi memaksa semua kepala menoleh ke arahnya.

“Dalam sebuah acara pembacaan puisi, dihadiri oleh lima orang saja itu sudah luar biasa. Malam ini lebih dari 15 orang yang hadir, itu luar biasa sekali”.

Dan ketika tangan-tangan kami bersalaman untuk pamit pulang, angin luar makin berisik. Mungkin kali ini angin tak sekadar bercanda, tetapi sedang mengingatkan agar saya tak perlu pulang malam ini juga ke pelukan Pulau Penawar Rindu atau barangkali angin ingin mengingatkan kita begini:

Bahwa selain hafal nama-nama toke, kita juga hafal bencana, namun pelit belajar dari sebabnya. Bahwa Sumatera memang sedang luka, tetapi yang benar-benar harus kita rawat barangkali bukan hanya tanahnya melainkan kepedulian kita pada lukanya. Karena luka mereka adalah wajah kita.

 

(red)




- -- -
Komentar Facebook

Komentar dengan account Facebook

;